Singgung Efektivitas di RUU KUHAP, Maqdir Ismail : Polri Kendalikan Penyidikan, Jaksa Fokus Penuntutan

Jakarta – Munculnya potensi tumpang tindih kewenangan dalam RUU KUHAP menjadi sorotan banyak pihak.

Integritas sistem peradilan pidana di Indonesia dinilai dapat terganggu dan akan dipertarukan dengan RUU KUHAP yang baru.

Bacaan Lainnya

Salah satu pasal RUU KUHAP yang disoroti adalah Pasal 12 Ayat 11 RUU KUHAP, yang mengatur bahwa jika dalam waktu 14 hari laporan masyarakat tidak ditindaklanjuti oleh pihak kepolisian, masyarakat dapat langsung mengajukan laporan kepada kejaksaan.

Selain itu potensi tumpang tindih kewenangan juga bisa terjadi apabila mengacu pada Pasal 6 RUU KUHAP yang disebutkan bahwa penyidik merupakan pejabat pegawai negeri yang ditunjuk secara khusus menurut undang-undang tertentu, yang diberi kewenangan melakukan penyidikan.

Inilah yang menjadi alasan Pengacara Maqdir Ismail menilai tugas penyidikan dalam RUU KUHAP sebaiknya tetap pada kepolisian.

Sejatinya Kejaksaan tetap pada kewenangannya menjalankan penuntutan dan eksekusi atas putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap seperti yang selama ini berjalan.

“Untuk efektifnya penyidikan, maka penyidikan dilakukan oleh Penyidik Polri saja. Penuntut Umum, sepenuhnya menjalankan fungsi penuntutan saja dan eksekusi atas putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap,” ungkap Maqdir kepada wartawan, Sabtu 15 Maret 2025.

Maqdir juga mengatakannbahwa jaksa bisa saja diberikan kewenangan untuk mengambil alih penyidikan jika penyidik tidak mampu menyelesaikan penyidikan suatu perkara.

“Ini diperlukan untuk memberikan kepastian hukum terhadap proses penyidikan,” jelas Maqdir.

Maqdir juga menilai bahwa semua proses penyidikan sebaiknya dilakukan oleh Penyidik Polri sehingga tidak ada lagi Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) seperti tertulis dalam Pasal 6.

Fungsi PPNS disini adalah menjalankan fungsi sebagai tenaga ahli dalam penyidikan karena pengetahuan mereka secara khusus terhadap hal tertentu.

“Sekiranya masih dianggap perlu ada PPNS, maka fungsi mereka melakukan penyidikan terhadap pelanggaran administratif, bukan perbuatan pidana yang merupakan kejahatan.” ujar pengacara yang kini membela Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto dalam kasus dugaan suap dan perintangan penyidikan itu

Jadi penyidikan tetap dilakukan pihak yang memiliki kapasitas dalam melakukannya.

“Dalam melakukan penyidikan, sebaiknya semua dilakukan oleh Penyidik Polri, tidak ada lagi PPNS,” jelasnya.

Maqdir juga mengusulkan adanya hakim pengawas dalam rangka memastikan pekerjaan penyidikan dan penuntutan berjalan dengan baik dan sesuai hukum sebelum masuk pada persidangan di pengadilan.

“Dalam rangka memastikan pekerjaan Penyidikan dan Penuntutan berjalan dengan baik dan menurut hukum, sebelum sampai ke persidangan di Pengadilan, maka harus ada hakim pengawas yang melakukan pengawasan terhadap kegiatan penyidik dan penuntut umum,” pungkasnya.

Sebelumnya Viral di media sosial menyebutkan kewenangan jaksa dalam menangani kasus korupsi dilemahkan.

Berdasarkan draf Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), jaksa hanya diberi wewenang menangani pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat.

Aturan tersebut tertuang dalam Pasal 6 draf RUU KUHAP tentang penyidik. Pasal itu menjelaskan kategori penyidik yakni sebagai berikut.

(1) Penyidik terdiri atas:
a. Penyidik Polri;
b. PPNS; dan
c. Penyidik Tertentu.

(2) Penyidik Polri sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan penyidik utama yang diberi kewenangan untuk melakukan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan ketentuan Undang-undang.

(3) Ketentuan mengenai syarat kepangkatan, pendidikan dan pelatihan, serta sertifikasi bagi pejabat yang dapat melakukan penyidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Yang dimaksud dengan “Penyidik Tertentu” adalah Penyidik Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Penyidik perwira Tentara Nasional Indonesia angkatan laut yang memiliki kewenangan melakukan Penyidikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan di bidang perikanan, kelautan, dan pelayaran pada wilayah zona ekonomi eksklusif dan Jaksa dalam tindak pidana pelanggaran hak asasi manusia berat

Ketua Komisi III DPR RI Habiburokhman menjelaskan aturan tersebut belum final dan sudah diubah seiring pembahasan RUU KUHAP.

“Saya melihat bahwa draf tersebut sepertinya bukan hasil yang terakhir,” kata Habiburokhman kepada media Minggu 16 Maret 2025.

Habiburokhman menegaskan dalam RUU KUHAP tidak ada mengatur kewenangan institusi dalam memeriksa dan menyelidiki kasus. Ia menekankan KUHAP akan menjadi pedoman dalam proses pidana bukan mengatur tentang kewenangan terhadap tindak pidana tertentu yang diatur dalam undang-undang di luar KUHP atau KUHAP.

“Draf RUU KUHAP juga tidak mencabut undang-undang di luar atau materiil manapun sepanjang tidak mengatur acara pidana yang diatur dalam KUHAP,” tegasnya.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *